Grahasta Adalah Tahapan Hidup Berumah Tangga

Grahasha adalah tahapan kedua setelah melalui tahapan yang di sebut brahmacari. Dalam kehidupan Grahastha adalah waktunya untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh pada masa Brahmacari untuk memperoleh harta untuk menopang kehidupan dalam berumah tangga. Namun walaupun begitu mencari ilmu atau belajar hendaknya tetap berlanjut karena di dalam kitab wrehaspati tatwa dinyatakan hendaknya belajar terus dan ilmu yang telah didapatkan hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari hingga berguna bagi diri sendiri dan masyarakat luas.                                                                                                                                  Ada tiga kewajiban yang mendasar bagi seorang grehasta yaitu; menikah, mencari nafkah [harta] dan membimbing anak. Masa grehasta adalah identik dengan masa berumah tangga yang diawali dengan perkawinan. 

Perkawinan menurut undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Sedangkan Manavadharmasastra menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu meliputi hidup bersama-sama [suami –istri] untuk mewujudkan pelaksanaan dharma [dharmasampatti], melahirkan keturunan [praja], dan menikmati kehidupan seksual [rati]. Jadi tujuan utama perkawinan adalah melaksanakan dharma. 

Dalam perkawinan hendaknya terutama suami-istri terus berupaya jangan sampai ikatan tali perkawinan retak apalagi pecah. Sebab perkawinan adalah ibarat perahu yang digunakan oleh grhastha untuk mengarungi samudra kehidupan yang amat luas.  Kalau perkawinan sampai retak apalagi pecah maka yang menjadi tujuan perkawinan yaitu untuk melaksanakan dharma tidak akan tercapai.            

Perkawinan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat setelah mereka melaksanakan perkawinan [pernikahan]. 

Khusunya di dalam adat Bali seseorang akan memperoleh hak-hak dan kewajiban sebagai warga desa, banjar, dan dadia setelah mereka melaksanakan perkawinan.

Menurut kitab suci weda, perkawinan atau pernikahan adalah suatu kewajiban. Weda tidak menganjurkan  seseorang untuk nyukla brahmacari [menjomblo]. Karena anak dipercaya akan dapat membantu roh atau atma leluhurnya untuk bebas dari penderitaan atau memberi badan baru melalui kelahiran bagi atma leluhurnya. 
Hal ini dapat kita simak dari Astika caritera dalam Adi Parwa.

Diceritakan seorang brahmana yang bernama Sang Jaratkaru yang melaksanakan nyukla brahmacari [menjomblo], ketika berziarah di Ayathanasthana [daerah antara neraka dan sorga] melihat Sang Pitara [atma] dengan kaki di ikat dengan tali tergantung di pucuk bambu petung menjulur ke bawah di pinggir sebuah jurang yang dalam dan seekor tikus mengerat talinya.

Jaratkaru sangat kasihan melihat dan ingin membantu melepaskan dari siksaannya dan bertanya mengapa hal itu bisa terjadi.

Sang Pitara [atma] itu menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena anaknya yang bernama Jaratkaru tidak mau menikah [menjomblo] sehingga ia tidak mempunyai keturunan atau cucu yang dapat menebus dosa-dosanya di alam fana.

Akhirnya Sang Jaratkaru mengerti bahwa atma yang tergantung itu adalah atma ayahnya yang hanya dapat dibebaskan kalau ia mau menikah dan mempunyai anak, dan Sang Jaratkaru berjanji akan menikah bila dapat istri yang namanya sama dengan dia.

Namun Sang Jaratkaru akhirnya bertemu dengan seekor naga yang bernama Nagini Jaratkaru. Karena sudah berjanji akan menikah dengan istri yang namanya sama baginya tidak ada masalah menikah dengan seekor naga.

Dalam pernikahan itu dikaruniai seorang anak yang dinamai Sang Astika kemudian Sang Astikalah yang dapat membebaskan penderitaan leluhurnya, hingga ia bisa ke alam leluhur atau Pitera Loka.

Di dalam ceritera Atma Prasangsya juga banyak dikisahkan roh-roh di alam baka yang mendapat siksaan dikarenakan ketika mereka di alam fana tidak melahirkan anak.

Kisah Adiparwa dan Atma Prasansya di atas sudah tentu hanya sebuah mitos, tetapi di dalam ceritera mitos itu terkandung sebuah pesan yang ingin disampaikan kepada umat manusia bahwa perkawinan atau pernikahan itu amatlah penting artinya demi kelangsungan siklus kehidupan manusia.

Karenanya kawin atau menikah adalah suatu kewajiban bagi setiap insan. Lalu mengapa di dalam ceritera mitos Sang Astika tadi Sang Jaratkaru dicerterakan menikah dengan seekor ular ?

Karena dalam perjalanan berumah tangga memang akan penuh liku seperti ular yang sedang berjalan belok sana belok sini, kepalanya kadang terangkat ke atas kadang menjulur ke bawah, penuh variasi, Seolah-olah menggambarkan kehidupan orang yang mulai berumah tangga, kadang senang kadang susah, kadang cekcok kadang akur, sebagi gejolak-gejolak kecil. Tetapi yang terpenting kita bisa mengaplikasikan ilmu yang didapatkan selama masa brahmacari.

Kewajiban-kewajiban setelah berumah tangga juga semakin bertambah. Salah satu kewajiban seorang grehastha adalah mencari artha untuk menunjang kehidupan berumah tangga dengan bekerja untuk mencapai hidup damai, sejahtra, dan bahagia.

Dalam perkawinan tugas seorang mempelai laki-laki antara lain mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi keluarganya, mampu membuahi istrinya, untuk melanjutkan keturunan, merencanakan jumlah keluarga, Dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran, tentu dituntut tanggungjawab dari seorang suami untuk mampu menjadi pelindung dan figur yang dihormati oleh istri dan anak-anaknya.

Sedangkan tugas dari seorang mempelai wanita adalah suka berdoa, melahirkan anak-anak yang gagah berani, mengkondisikan anak-anak agar memiliki sifat yang gagah berani, bijak dalam pembicaraannya, mengawasi dan menopang keluarga, menghormati keluarga mertua, selalu waspada dan berhati-hati.

Setelah melangsungkan perkawinan [vivaha] tugas seorang grahasta adalah mencari dan mengelola hartha untuk menopang kehidupat rumah tangganya.

Menurut Weda ada empat jenis pekerjaan [profesi] yang dapat dipilih oleh setiap grehastha, yaitu; Sudra, Vaisya, Ksatriya, dan Barhmana. Keempat lapangan pekerjaan atau profesi ini boleh di pilih salah satu atau lebih bagi setiap umat manusia, tanpa membedakan ras, suku, dan agamanya, tetapi dibedakan oleh ciri-ciri yang dilahirkan dari watak-watak mereka sendiri menurut sifat-sifat material mereka masing-masing seperti bakat dan minat mereka masing-masing [Bhagavadgita XVIII.41].

Para Brahmana adalah orang yang pekerjaannya sebagai duta perdamaian seperti memberi bimbingan kepada masyarakat luas untuk bisa mengendalikan diri, memelihara toleransi antar umat, memberikan bimbingan pendidikan baik pendidikan keduniawian maupun pendidikan kerohanian atau yang berhubungan dengan keagamaan, sebagai konsultan atau penasehat, dan sebagai motivator [Bhagavadgita XVIII.42].
Para Ksatriya adalah mereka yang pekerjaannya sebagai abdi negara yang memiliki jiwa kepahlawanan, pembuat kebijakan negara, penegakan hukum, dan juga sebagai administrator negara [Bhagavadgita XVIII.43].

Para Vaisya adalah orang yang pekerjaanya sebagai pelaku ekonomi yang menyediakan segala kebutuhan rakyat, seperti mengurusi bidang pertanian, peternakan, perdagangan, dan industri.

Sedangkan ParaOk Sudra adalah orang yang pekerjaannya yang memberikan pelayanan di bidang jasa seperti buruh, pegawai baik swasta maupun negeri [Bhagavadgita XVIII.44].

Setiap orang yang melaksanakan pekerjaannya sesui dengan bakat dan minatnya masing-masing dengan tekun atau profesional, hidupnya akan sukses dengan syarat setiap pekerjaan harus didasari atas yadnya yaitu harus dilakukan dengan tulus-iklas dan didasari pula atas ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pekerjaannya [tatwa] dan mengikuti konteks keadaan waktu dan tempat [etika].

Tidak ada pekerjaan itu lebih hina atau lebih terhormat, semua pekerjaan yang didasari atas yadnya adalah mulia. Lebih baik melakukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat kita sendiri walaupun kurang sempurna daripada melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan minat kita sendiri walaupun pekerjaan itu dapat dilakukan dengan sempurna [Bhagavadgita XVIII.47].

Setiap pekerjaan ditutupi oleh sejenis kesalahan, seperti halnya api ditutupi oleh asap. Karena itu, seseorang jangan meninggalkan pekerjaan yang telah diperoleh sesuai dengan bakat dan minat pribadi, meskipun pekerjaan itu penuh kesalahan [Bhagavadgita XVIII.48].

Setiap pekerjaan hendaknya selalu didasari yadnya supaya hasil pekerjaan itu benar-benar bisa mengantarkan kita untuk mencapai kehidupan yang damai, sejahtra dan bahagia.

Hasil pekerjaan [hartha] juga hendaknya dikolola dengan baik. Pengelolaan hasil pekerjaan yang berupa harta  ada tiga macam yaitu ;

Harta  untuk dharma:
yaitu harta yang digunakan untuk pembiayaan yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri seperti biaya tansportasi dan bekal kerja, dan juga termasuk kebutuhan hidup keluarga sehari-hari seperti makanan [pangan], pakaian [sandang] dan dan biaya pendidikan anak-anak.

Harta untuk harta:
yaitu harta yang dipakai untuk mengembangkan harta itu sendiri seperti tabungan atau deposito, investasi.

Harta untuk kama:
yaitu harta yang digunakan untuk memenuhi keinginan-keinginan yang bersifat hiburan [bukan keinginan yang bersifat nafsu].

Ada enam sifat manusia yang yang sering menjerumuskan manusia ke dalam kesengsaraan yaitu;
  1. Kebodohan/kebingungan [moha],
  2. Nafsu/tidak bisa menunda keinginan [kama],  
  3. Kelobaan/sering mengambil keputusan melebihi kemampuan [lobha], 
  4. Kemabukan/tidak bisa mengontrol diri/sombong [mada], 
  5. Iri hati/susah melihat orang senang [matsarya], dan 
  6. Kemarahan [kroda].

Kemabukan disebabkan oleh empat macam yaitu; mabuk karena kepintaran [widya], mabuk karena kekayaan [dana], mabuk karena keturunan [abijana], dan mabuk karena kekuasaan [aiswarya].

Seorang Grhastin atau kepala keluarga memikul tanggungjawab yang sangat besar. Menurut ajaran agama Hindu yang berfungsi sebagai kepala  keluarga adalah ayah [suami], seorang ibu [istri] adalah pengasuh atau pembina keluarga terutama anak-anak yang lahir di dalam keluarga itu.

Mengingat adalah ayah sebagainpenanggungjawab keluarga, maka seorang anak laki-laki dimasa yang lalu mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan anak perempuan. Seorang anak laki-laki bertindak sebagai penerus kelangsungan hidup keluarga.

Bila tidak terdapat anak laki-laki di dalam keluarga itu, anak perempuan boleh bertindak sebagai anak laki-laki, asal tetap tinggal di runah ayahnya. Seandainya ia kawin maka perkawinan maka perkawinan bersifat istimewa dan suaminya mengikuti istrinya. Perkawinan itu disebut ‘Nyentana’. Kata itu ruanya berasal dari kata ‘Sanatana’ yang berarti abadi.

Seorang ayah [suami], mempunyai kedudukan yang sejajar dengan ibu [istrinya]. Namun demikian dalam Svadharmanya secara kodrati ayah [suami] lebih menonjol. Suami sebagai ayah mempunyai fungsi sebagai kepala rumah tangga yang harus dihormati.

Ayah [suami] mempunyai kewajiban sebagai; pelindung ibu [istri] serta putra-putrinya, dan mengawinkan bila saatnya tiba nanti. Dan yang lebih penting lagi adalah memberikan atau memfasilitasi putra dan putrinya untuk memperoleh pendidikan, menjamin hidup dan memberi nafkah kepada ibu [istri] dan anak-anaknya, memelihara kehidupan yang suci dan saling mempercayai sehingga terbina keharmonisan keluarga, dan memberi kebahagiaan kepada ibu [istri] dan anak-anaknya. Seperti digambarkan oleh Maharsi Yadnyavalkya seperti halnya kerang dengan kulitnya, mereka tidak boleh berpisah karena perpisahan diantara mereka akan mengakibatkan kehancuran.

Ibu [istri] juga memegang peranan yang sangat penting di dalam rumah tangga. Tugas dan tanggungjawab seorang ibu sangatlah berat. Sejak ibu [istri] hamil sampai melahirkan, memelihara dan mendidik anak-anak di dalam rumah tangga yang merupakan tugas yang dilakukan oleh seorang ibu [istri].

Menawadharmasastra menjelaska tugas-tugas seorang ibu [istri] di dalam rumah tangga sebagi berikut;

Tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan suami, pandai menempatkan diri mengatur dan memelihara keharmonisan rumah tangga, setia kepada suami dan anak-anaknya dengan tetap berpegang pada dharma. Selalu mengendalikan pikiran, perkataan, dan tindakannya dengan selalu mengingat dan memuja Tuhan Yang Maha Esa.

Serta merenungkan kebenaran dan mencintai sepenuh hatinya, suami dan anak-anaknya, wajib menegur suami bila suami melakukan perbuatan yang keliru dan menjurus pada kehancuran rumah tangga.

Ibu [istri] yang demikian disebut Patibrata dan kelak bila meninggal dunia niscaya akan mencapai sorga.

Demikian kewajiban seorang ibu [istri] yang sangat mulia yang patut dicintai dan dihormati oleh ayah [suami] dan anak-anaknya.

Di mana wanita dihormati, di sanalah para dewa-dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati tidak ada yadnya apapun yang akan berpahala [ Manawadharmasastra, 56 ].

Mendidik anak adalah salah satu dari kewajiban seorang grhastha, karena anak salah satu tujuan dari perkawinan [vivaha]. Anak juga yang akan melanjutkan estapet dharma yang belum bisa dilaksanakan oleh orang tuanya.

Kelahiran seorang anak laki-laki di dalam seorang keluarga hindu merupakan kebahagaan, karena mempunyai anak laki-laki adalah tujuan utama dari setiap keluarga hindu, demikian pandangan keluarga hindu di masa lalu. Anak laki-laki disebut putera dan dipandang sebagai juru selamat roh nenek moyang yang telah meninggal, menyelamatkannya dari neraka [Carita Adhi Parwa].

Walaupun memperoleh anak laki-laki merupakan anugrah utama bagi keluarga, tetapi dengan kedudukan anak laki-laki yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dikatakan bahwa yang berhak melakukan upacara Sradha [upacara pitra Yadnya] adalah anak laki-laki yang sulung. Putera sulung itulah yang dapat menebus hutang ayahnya yang disebut ‘Pitra Rnam’.

Apabila seorang ayah meninggal dunia, maka saudara-saudaranya yang lain menjadi tanggungjawabnya untuk mengasuh dan membinbingnya. Jadi keselamatan keluarga tergantung dari baik-buruknya dari sifat anak laki-laki sulung [tertua] itu.

Demikian antara lain kedudukan dan kewajiban anak laki-laki sulung dan anak laki-laki lainnya dalam keluarga.

Berbeda halnya dengan kedudukan dan kewajiban anak laki-laki, anak perempuan dianggap sebagai dewi kemakmuran bertahta. Apabila di dalam keluarga tidak terdapat anak laki-laki, maka ia berhak pula mewarisi semua harta peninggalan orang tuanya. Sedang bila mempunyai saudara laki-laki, maka ia berhak pula mewarisi separo dari yang diterima oleh saodaranya yang laki-laki dengan catatan ia ketika sudah menikah tidak meninggalkan rumah itu [sebagai purusa].

Karena di samping kedudukannya sebagai seorang ayah [suami] dan seorang ibu [istri], secara umum orang tua mempunyai kedudukan sebagai pelindung keluarga, karena itu seorang anak baik laki-laki maupun perempuan berhutang budhi kepada orang tuanya.

Selain itu orang tua juga dianggap sebagai guru, sehingga mereka harus dihormati. Bagi keluarga Hindu rasa hormat dan bhakti kepada orang tua [ayah, ibu, kakek, nenek, mertua dan sebagainya] dilakukan dengan penuh kesadaran tanpa memandang status sosial orang tuanya, karena orang tua itu adalah guru dan mediator penciptaan manusia.

Dalam hal ini suatu keluarga, rumah tangga atau grhastha merupakan tempat pemeliharaan keharmonisan hidup atau tempat seseorang memperoleh kesempurnaan hidupnya, melakukan yadnya dan mewujudkan Purusaartha. Dalam keluarga itu adalah suatu dharma, di mana artha dan kama dapat dicapai dengan sebaik-baiknya.

Apabila setiap kewajiban dalam keluarga dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya niscaya tujuan hidup yang damai, sejahtra dan bahagia akan tercapai.
Rgveda X.85.23
Ya Dewata, semoga kehidupan perkawinan kami berbahagia dan tetram.

Rg.veda VI.15.19
Hendaknyalah hubungan suami istri kami tidak bisa putus berlangsung abadi.

Rgveda X.85.42
Ya, pasangan suami-istri semoga anda tetap di sini dan tidak pernah terpisahkan. Semoga anda berdua mencapai hidup yang penuh kebahagiaan. Semoga anda bermain dengan anak-anak lakimu dan cucu-cucu lakimu, tinggal di rumah ini dengan gembira

Rgvea X.85.47
Semoga para dewata memperasukan hati kami, suami istri,
Weda yang disusun dalam bentuk wiracerita atau yang lebih dekenal dengan Epos Mahabharata oleh Bhagawan Byasa.
Meninjau Tentara-tentara Perang di Kurusetra.
Ringkasan Bhagawad-Gita.
Karma Yoga
BAB IV Pengetahuan Rohani.
Perbuatan dalam Kesadaran Ilahi.
Meditasi Mengendalikan Pikiran dan Indria ( Dyana Yoga ).
Pengetahuan Tentang yang Mutlak.
Cara Mencapai Tuhan yang Mahakuasa.
Pengetahuan yang Paling Rahasia.
Kehebatan Tuhan yang Mutlak ( Wibhuti Yoga ).
Bentuk Alam Semesta ( wiswa rupa dharsana yoga ).
Pengabdian Suci ( bhakti yoga ).
Alam, Kepribadian yang Menikmati dan Kesadaran.
Tiga Sifat Alam Material.
Yoga Berhubungan dengan Kepribadian yang Paling Utama.
Sifat Rohani dan Sifat Jahat.
Golongan Keyakinan.
Kesempurnaan Pelepasan Ikatan.

SARASAMUCAYA

Kitab saraccamuscaya adalah ringkasan dan cara mengaplikasikan ajaran Bhagawad-gita pada kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat, yang ditulis dengan bahasa Kawi oleh Bhagawan Wararuci, seorang guru Spiritual.

Postingan populer dari blog ini

Kata-Kata Motivasi Hidup untuk Masa Depan

Anda Akan Lebih Percaya Diri dan Berani Jika Baca Kata-kata Ini