BAB IX PERIHAL SATYAWACANA [SETIA PADA KATA-KATA]
Sarasamuscaya sloka/bab 9 adalah menguraikan perihal pentingnya satya wacana atau setia pada kata-kata, tidak berbohong atau ingkar janji.
117 Terjemahan
Adapun pendapat saya ialah bahwa ada dua macam sifat yang
menyebabkan orang terpuji di dunia ini yaitu : yang sama sekali tidak pernah
mengucapkan kata-kata kasar, sama sekali tidak pernah berbuat kejahatan. Orang
yang bersikap demikian yang terpuji di dunia.
118 Terjemahan
Apabila suatu hal yang diucapkan itu dianggap baik,
janganlah hal itu selalu digembar-gemborkan, janganlah ingin sekali agar
disebut pandai berbicara, sebab apabila banyak bicara kemungkinan dapat
dipengaruhi oleh rasa suka dan benci. Itu tidak baik.
119 Terjemahan
Maksud yang baik dan baik pula dalam mengucapkannya,
menyebabkan banyak orang yang merasa senang. Meskipun maksudnya baik tetapi
tidak baik caranya mengatakan, bukan hanya menyebabkan sakit hatinya si
pendengar saja, tetapi malah juga membikin malapetaka pada yang mengatakan.
120 Terjemahan
Perkataan yang kasar tidaklah bedanya dengan tajamnya anak
panah yang melukai perasaan setiap orang yang dikenainya, masuk ke dalam hati
hingga menyebabkan tidak enak makan dan tidur siang atau malam. Oleh karena itu
janganlah hal demikian itu diucapkan oleh orang budiman. Jagalah kebersihan dan
keheningan.
121 Terjemahan
Adapun perihnya akibat terkena kata-kata kasar itu, menusuk
ke dalam jiwa, menembus ke hati sampai-sampai ke tulang sumsum. Oleh karena itu
janganlah hal demikian dilakukan oleh orang yang saleh [dharmika].
122 Terjemahan
Sebab hutan yang pohon-pohonnya ditebang dan dibersihkan
pasti tumbuh dan sempurna kembali, akan tetapi pikiran yang dibuat merana oleh
perkataan kasar dan menyakiti hati tidak menjadi segar kembali, artinya tidak
akan mempertinggi budi perkataan yang kasar itu.
123 Terjemahan
Janganlah suka mencela orang cacat karena kekurangan atau
kelebihan anggota-anggota badannya, orang buta huruf, orang sengsara, orang
yang tidak berdaya walaupun diumpat, orang tertimpa kecelakaan, orang miskin,
orang rendah hati, orang penakut. Semuanya itu jangan sekali-sekali dicela,
karena mencela mereka sama dengan menghina.
124 Terjemahan
Oleh karena itu, orang yang arif bijaksana, orang yang
berjanji atas dirinya berpegang pada kebenaran, tidak mencaci orang, tidak
memfitnah, tidak mencela, lagi pula tidak berkata dusta [berbohong], melainkan
giat berusaha menahan ucapan-ucapannya, dan memelihara agar orang lain jangan
sampai terluka karenanya.
125 Terjemahan
Adapun orang yang berprilaku suka memuji hanya kalau sedang
berhadap-hadapan, tetapi mencela sesudah di belakang, ia dinamai orang yang
tidak jujur. Mustahil ia akan mendapat selamat di dunia ini maupun di dunia
baka.
126 Terjemahan
Karena itu janganlah suka mencela, janganlah didengarkan
orang mencerca orang lain, tutuplah telinga dan menghindarlah dari tempat itu.
127 Terjemahan
Apalagi orang dharmika, sedangkan orang tak
berkepercayaanpun takut pada orang pendusta dan pemarah, karena sesungguhnya
tidak bedanya dengan ularlah mereka yang pendusta dan pemarah itu.
128 Terjemahan
Sesungguhnya tidaklah jauh letaknya racun dan amertha itu.
Di sinilah, di dalam badan sendiri tempatnya. Apabila orang bodoh, suka berbuat
kejahatan, racunlah yang diperolehnya; kalau orang selalu jujur teguh memegang
kebenaran ia mendapat amerta
129 Terjemahan
Dalam hal melepaskan diri dari pada kehidupan ini keutamaan
satia itu mengalahkan keutamaan upacara-upacara, sedekah dan sumpah batin
walaupun sama-sama dapat melepaskan diri.
130 Terjemahan
Jika di dalam penjelmaan sebagai manusia sulinggih itulah
yang utama, dari segala yang bersinar mataharilah yang utama, dari anggota
badan kepala itulah lebih tinggi dibandingkan dengan tangan, kaki dan lain-lain,
maka di dalam dharma [kebajikan] tidak ada yang mengalahkan Satya [kesetiaan/kejujuran].
131 Terjemahan
Ada orang yang perkataannya mengakibatkan kesusahan orang
lain. Umpamanya ia menyanggupi akan memenuhi permintaan seseorang, tetapi ia
membohong. Orang yang bersifat demikian tidak takut kepada neraka, dan bukankah
ia membuatkan dirinya celaka sebab ia sudah membuat orang lain mendapat celaka.
Singkatnya janganlah mengeluarkan janji yang tak dapat dipenuhi.
132 Terjemahan
Dan selanjutnya diajarkan juga sebagai berikut : jadilah
manusia setia, jangan berkata menyakiti orang lain, jangan suka mencela,
berkatalah yang menimbulkan manfaat bersama, jangan berkata dipengaruhi rasa
iri hati, jangan berkata diliputi oleh rasa kemarahan, jangan mementingkan diri
sendiri, jangan memfitnah. Demikianlah antara lain kata-kata yang tidak patut
diucapkan.
133 Terjemahan
Prilaku satya ialah apabila ditanyakan suatu hal tidak
disembunyikan, diceritakan sebagai apa yang terjadi sebenarnya dan semua yang
diketahui perbuatan yang demikian disebut satya.
134 Terjemahan
Keterangannya lebih lanjut begini : bukannya perkataannya
yang bohong itu tidak satya, dan bukan semua perkataan yang benar itu disebut
satya. Biarpun perkataan bohong asalkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umum,
itu satya namanya. Meskipun berkata dengan sejujurnya apabila akhirnya tidak
bermanfaat pada masyarakat [malahan mungkin mencelakakan] itu disebut tidak
satya.
135 Terjemahan
Sebab itu usahakanlah kesejahtraan makhluk, karena kehidupan
merekalah yang menyebabkan tegaknya catur-purusaarta yaitu dharma [kebajikan],
arta [harta], kama [keinginan], moksa [kebebasan sejati]. Kalau mau mencabut
nyawanya makhluk, tentu saja dapat. Tetapi menegakkan Catur Purusa Arta
hanyalah yang menjaga kesejahtraan makhluk itu. Tidak akan selamat orang yang
tidak menjaga keselamatan hidup semua makhluk.
- SARASAMUSCAYA
- I PRAKATA
- II DASAR DAN TUJUAN HIDUP
- III. KEAGUNGAN DHARMA [KEBAJIKAN]
- IV PERIHAL SUMBER DHARMA [KEBAJIKAN]
- V PERIHAL PELAKSANAAN DHARMA
- VI PRIHAL CATUR WARNA [EMPAT GOLONGAN PROFESI]
- VII PERIHAL KEMARAHAN
- VIII PERIHAL ORANG TANPA KEPERCAYAAN [NASTIKA]
- IX PERIHAL SATYAWACANA [SETIA PADA KATA-KATA]
- X PERIHAL AHIMSA [TIDAK MEMBUNUH-BUNUH]
- XI PERIHAL SATEYA [TIDAK MENCURI]
- XII PERIHAL PERBUATAN SUSILA
- XIII PERIHAL DANA PUNIA [SEDEKAH]
- XIV PERIHAL PERGAULAN HIDUP
- XV PERIHAL PERBUATAN TERPUJI
- XVI PERIHAL HARTA BENDA
- XVII PERIHAL ORANG BERILMU DAN BERBUDI
- XVIII PERIHAL ORANG DURJANA
- XIX PERIHAL HUKUM KARMA
- XX PERIHAL KEKUASAAN MAUT
- XXI PERIHAL TUMIBAL LAHIR [SAMSARA]
- XXII PERIHAL KEBODOHAN
- XXIII PERIHAL KAMA [NAFSU] DAN PEREMPUAN NAKAL
- XXIV PERIHAL TRESNA [KEHAUSAN CINTA]
- XXV PERIHAL KELOBAAN
- XXVI PERIHAL IKATAN CINTA KASIH
- XXVII PERIHAL ORANG BIJAKSANA
Weda yang disusun dalam bentuk wiracerita atau yang lebih dekenal dengan Epos Mahabharata oleh Bhagawan Byasa.
Meninjau Tentara-tentara Perang di Kurusetra.
Ringkasan Bhagawad-Gita.
Karma Yoga
BAB IV Pengetahuan Rohani.
Perbuatan dalam Kesadaran Ilahi.
Meditasi Mengendalikan Pikiran dan Indria ( Dyana Yoga ).
Pengetahuan Tentang yang Mutlak.
Cara Mencapai Tuhan yang Mahakuasa.
Pengetahuan yang Paling Rahasia.
Kehebatan Tuhan yang Mutlak ( Wibhuti Yoga ).
Bentuk Alam Semesta ( wiswa rupa dharsana yoga ).
Pengabdian Suci ( bhakti yoga ).
Alam, Kepribadian yang Menikmati dan Kesadaran.
Tiga Sifat Alam Material.
Yoga Berhubungan dengan Kepribadian yang Paling Utama.
Sifat Rohani dan Sifat Jahat.
Golongan Keyakinan.
Kesempurnaan Pelepasan Ikatan.